Jumat, 26 Juni 2009

Gadis Tapteng Jadi Bintang KDI 6

Nur Givri Yati Waruwu Bintang KDI 6
Lahir Dari Keluarga Yang Sederhana


Nur Ghivri Yati Waruwu, itulah nama gadis cantik kelahiran Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara 17 tahun yang lalu. Kini nama itu tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, khususnya pencita musik dangdut di tanah air. Dimana berkat usaha dan dukungan dari masyarakat luas, kini Givri panggilan akrab gadis manis itu sedang bertengger di 9 besar Kontes Dangdun Indonesia 6, (KDI 6) yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta.

Lantas bagaimana kehidupan orangtua Givri? Berikut ini hasil penelusuran wartawan BATAKPOS, Jason Gultom ke kediaman orangtuanya di Jalan Padangsidimpuan, Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat (26/6).

Siang itu suasana rumah orangtua Givri ramai pembeli, karena orangtuanya membuka usaha kecil-kecilan yakni jual sepatu dan alat-alat kosmetik. Sementara ayahnya Chairul Hidayat Waruhu (36) dan ibunya Mastika Yanti br Simanungkalit (35) beserta adiknya Givri, Nisa (16) sedang berbicang-bincang di ruang tengah. Kehadiran wartawan koran ini pun disambut baik oleh kedua orangtua Givri. Ditemani minuman dingin, orangtua Givri pun mengawali cerita kehidupan rumah tangga mereka.

“Givri lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Saya adalah anak ke 5 dari 11 bersaudara, sedangkan istri saya anak ke 5 juga dari 7 berkeluarga. Kami mulai membina bahtera rumah tangga tahun 1990. Maklum saja, kami kawin muda, karena setelah tamat SMA saya langsung menikah dengan istri saja ini, dan kami pun tinggal di Padangsidimpuan. Karena keadaan ekonomi yang serba sulit, saya pun bekerja sebagai kuli pikul di Pasar Sidimpuan. Karena hasilnya tidak mencukupi, saya pun alih profesi sebagai tukang becak barang,”ujar pria berkumis itu.

Karena tanda-tanda kehidupan tidak jelas di Padangsidimpuan, akhirnya mereka pun pindah ke Pandan Tapteng, atas panggilan mertuanya. Tepatnya tanggal 3 Januari 1992, anak pertama merekapun lahir, yaitu Nur Ghivri Yati Waruwu di Pandan Tapteng. Demi untuk menghidupi keluarga dan anaknya, Ayah yang hobby seni ini bekerja sebagai kondektur angkot. Namun naas, baru tiga bulan sebagai kondektur, angkot yang dikondekturinya terbakar. Akhirnya Ia pun bekerja di toko milik orang china di Sibolga, namun gajinya tidak mencukupi untuk mengihupi Givri dan ibunya. “Waktu itu saya diberi upah hanya Rp15ribu seminggu,”kenangnya.

Ia pun tidak mau pasrah dengan keadaan, kerja apa saja yang penting halal, itulah motto hidupnya. Melihat ada peluang bekerja di Panglong, Ia pun bekerja disana, kebetulan ada pesanan untuk membuat peti Pemilu. Karena sudah sepi orderan, Ia pun kembali menganggur. Karena prihatin melihat kehidupan mereka, kakeknya Givri pun memberikan suntikan modal, agar mereka membuka kantin disalah satu perkantoran di Pandan. Namun usaha itu hanya mampu bertahan 1 tahun.

Usia Givri pun terus beranjak, sementara hasil dari usaha yang dikerjakan selama ini hanya pas-pasan untuk makan sehari-hari. Berkat bantuan dari keluarga, mereka ditawarkan untuk bukan usaha kantin di Pelabuhan Gunung Sitoli Nias. “Waktu itu ada keluarga kami yang bekerja di Pelabuhan Gunung Sitoli, Nias, kami pun ditawari buka kantin disana. Karena prospeknya lumayan, kamipun berangkat ke Gunung Sitoli, sementara Givri kami tinggalkan di Pandan bersama dengan neneknya,”ujar pria berkulit putih ini.

Karena izin kontraknya hanya 5 tahun di Pelabuhan Gunung Sitoli, mereka kembali ke Pandan. Bermodalkan keuntungan sedikit selama bukan kantin di Pelabuhan Gunung Sitoli, mereka membuka warung sayur di Pandan. “Saat itu usia Givri 6 tahun dan sudah masuk SD. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar itulah bakat anak kami ini sudah terlihat dibidang tarik suara. Ia sering tampil setiap ada acara kawinan dan acara lainnya yang digelar di Pandan. Karena orang senang melihat keberanian Givri, Ia pun sering disumbang. Dan hasil sumbangan itu lah yang kami gunanakan untuk membeli kebutuhan Givri selama sekolah. Bahkan sisanya bisa kami gunakan untuk menambah modal usaha sayur kami,” aku kedua pasangan serasi ini dengan mata berkaca-kaca.

Seiring dengan bergulirnya waktu, Givri pun semakin sering tampil di panggung, bahkan setiap ada kontes, Givri tidak pernah ketinggalan untuk berlaga. Hasilnya pun cukup memuaskan, karena dari sekian banyaknya kontes yang diikutinya dia selalu keluar sebagai jawara. “Menang bakat alami anak kita ini sudah terlihat sejak kecil, makanya setiap ada kontes Ia selau ikut. Namun kecemerlangan prestasi anak kami ini tidak selalu sejalan dengan keberuntungan usaha kami. Karena setelah Givri tamat SD, usaha sayur kami bangkrut. Saat itu saya dengan ibunya sudah pasrah apakah si Givri bisa lanjut ke SMP atau tidak,”kenang pasutri ini dengan linangan air mata.

Namun selalu ada jalan yang ditunjukkan Sang Pencipta bagi kelanjutan kehidupan keluarga ini. Disaat kondisi perekonomian lagi down, Givri menang kontes Dangdut tingkat anak-anak se Tapanuli yang diselenggarakan oleh Iman Syafe’i di Pantai Indah Kalangan, Pandan. Dari hasil itulah Givri dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMP.

Melihat bakat anaknya, orangtuanya pun senang dan bangga, hanya saja tidak mungkin keluarga ini sepenuhnya berharap dari hasil kontes Givri untuk membiayai mereka, ditambah lagi tuntutan ekonomi untuk biaya adik Givri, Nisa yang sudah masuk sekolah. Denganmodal nekat, mereka pun menjual rumahnya untuk membuka usaha door smeer. Melihat semangat suaminya, ibunya Givri pun tidak tinggal diam, wanita berparas cantik itupun membuat kue untuk dititipkan ke warung-warung yang ada di Pandan.

“Biar sedikit asalkan lancar itulah komitmen kami saat itu. Alham dulillah dari hasil usaha itu, kami pun bisa membuka kios ponsel dan usaha jual sepatu serta alat-alat kosmetik sampai saat ini,”ujar ibu Givri.

Givri ini anaknya baik, dan tidak pernah menyusahkan kami, lanjut orangtua Givri. Hanya saja dia tidak bisa dibentak, karena kalau dia dibentak, maka dia akan semakin bigung dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya. “Kami tahu persis keadaan putri kami ini, memang kalau dia salah tidak bisa dibentak, karena dia akan semakin bigung. Namun sebaliknya, kalau kekurangannya dikasih tau dengan cara lembut, ia justru lebih cepat dari yang kita harapkan. Makanya kalau setiap mbak Berta memberikan komentar kepada Givri dengan nada keras, maka Givri akan bingung. Mungkin karena usia Givri yang masih relatif muda,”kata kedua orangtuanya.

Dan kami senang dengan kritikan dari mbak Berta kepada anak kami, sambungnya. Karena kami tahu bahwa kritikan itu sebagai wujud kecintaan mbak Berta kepada Givri agar kelak Givri menjadi bintang KDI yang sejati, tandasnya.

Lebih lanjut dikatakan ibu tiga anak ini, bahwa perjuangan Givri untuk masuk kontes KDI tidak kenal lelah. Karena tahun 2007 lalu Givri sudah ikut kontes KDI 5, namun ia hanya lolos 15 besar. Barulah di kontes KDI 6 ini, dewa fortuna berpihak kepa keluarga Givri sehingga ia lolos di 9 besar KDI 6 saat ini. “Ini semua berkat dukungan dan partisipasi semua lapisan masyarakat khususnya masyarakat Tapteng, Sibolga dan Nias sebagai basis Givri. Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya buat Pemkab Tapteng, Pemko Sibolga, para pencinta Givri dan juga semua masyarakat Indonesia yang sudah memberikan dukungan kepada anak kita ini. Karena apa yang selalu dikatakan Givri setiap dia tampil, bahwa tanpa dukungan dari semua lapisan masyarakat, Givri tidak ada apa-apanya. Memang itulah apa adanya, kami tidak perlu malu untuk mengatakan keberadaan kami ini, karena dukungan semua lapisan masyarakatlah yang menghantarkan anak kita ini menjadi bintang KDI 6,”ungkapnya dengan wajah terharu.

Untuk itu kami selalumemohon dukungan buat Givri, karena perjuangannya masih panjang untuk menuju peringkat 1 minimal 3 besar. Mari kita dukung anak kita ini, karena setiap Sabtu Malam ia tampil di TPI mulai pukul 19.00WIB, caranya ketik KDI spasi GIVRI kirim ke 6288 sebanyak-banyaknya. Horas…(Jason Gultom)