Hutan Batang Toru Harta Karun Tapanuli
Nilai Total Ekonomi Rp 3,6M/Tahun
Taput, Batak Pos
Hutan Batang Toru adalah harta karun Tapanuli. Hutan ini memiliki kekayaan alam yang masih perawan (virgin forest). Hutan Batang Toru ini memiliki dua kawasan hutan, yakni Hutan Dolok Ginjang (HDG) seluas 8.223.837ha dan Hutan Batang Toru Blok Barat (HBTBB) seluas 18.262,35ha di Kecamatan Adian Koting (45762.70ha) yang merupakan dua kawasan penting. Hutan Dolok Ginjang merupakan habitat utama Hariamu Sumatera yang masih tersedia. Sedangkan Hutan Batang Toru Blok Barat menyimpan 67 jenis mamalia, 287 jenis burung, 110 jenis herpetofauna dan 688 jenis tumbuhan. Berdasarkan status konservasinya, terindikasi 20 spesies di dalam status terancam, utamanya habitat orangutan dan Harimau Sumatra yang masih ada di kawasan Tapanuli.
Di kawasan HBTBB terdapat 60 sub DAS (Daerah Aliran Sungai) dengan total luasan daerah 211,690 ha dimana sub DAS terbesarnya dalah sub DAS Pinangsari seluas 9,209 ha yang memiliki perimeter sepanjang 66,113 meter dan sub Das terkecilnya dalah Sialang dengan luas hanya 301.8ha dan perimeter sepanjang 14,959 meter.
Menurut penjelasan Monang Ringoringo selaku Ketua PETRA (Perkumpulan Pengembangan Partisipasi Untuk Rakyat) kepada koran ini baru-baru ini menjelaskan, berdasarkan Dokumen Conservation International (2006) menyimpulkan, total nilai ekonomi nilai guna tak langsung Hutan Batang Toru, seperti untuk penahan bencana, pengatur air, pencegah erosi sebesar Rp69.212.225.920 per tahunnya, dan total nilai guna langsung berupa hasil hutan kayu, pariwisata, PLTA, PLTP tambang emas mencapai Rp3.563,078,680,128 per tahunnya. Sehingga nilai total ekonomi kawasan Hutan Ekosistem Batang Toru sebesar Rp3.632.290.906,48 per tahun.
Kawasan HBTBB juga merupakan pemukinan 53 Desa di 10 Kecamatan yang berada di 3 Kabupaten yang merupakan kawsan ulayat dari suku Batak Toba, Mandaling dan Angkola. Keberadaan spesies kunci dalam kawasan HBTBB dan hutan Dolok Ginjang sebagai indikator dari adanya kekayaan keanekaragaman hayati. Sehingga areal tersebut mejadi penting dari sisi konsrevasi keanekarangman hayati yang masih ada. Keberadaan dua spesies ini juga berpotensi pula menimbulkan konflik manusia-satwa yang serius sehingga diperlukan membuat suatu kajian bersama masyarakat untuk menyatakan kedua kawasan tersebut dengan koridor penghubung, agar gerak dan jelajah dari berbagai jenis satwa tidak terganggu dikemudian hari.
“Berdasarkan data yang yang kita himpun dan data ground chek, di kawsan Hutan Dolok Ginjang, terdapat konsesi PT TPL di kawsan Dolok Ginjang, di enam desa yang berbatasan dengan HBTBB, dimana salah satu hulu Aek Sipansihaporas di Desa Adiankotong dan Desa Sibalanga. Akibat rendahnya nilai penghasilan dan tekanan ekonomi, beberapa masyarakat ikut tergiur melakukan penebangan kayu hutan kepada agen kayu atau dijual untuk kayu bakar dan juga untuk bahan papan bangunan. Dampak dari konsesi PT TPL setelah beroperasi kembali menimbulkan degradasi hutan yang cukup memperihatinkan di bagian Utara dan Timur hutan Register 18,”jelasnya.
Ia juga menegaskan, di dalam kawsan HBTBB terdapat 3 industri destruktif (PT TPL, PT Teluk Nauli dan Agicourt), yang sangat berdampak pada kondisi pelestarian habitat orangutan, Harimau Sumatera, kondisi tutupan hutan, yang kesemuanya memberikan dampak negatif bagi sumber penghidupan manusia yang bermukim di tepi hutan, serta 2 industri yang membutuhkan kelestarian hutan dan sungai, seperti PLTP PT Medco dan PT PLN di Sipansihapora Tapteng dan Aek Raisan.
Tumpang Tindih Penataan Kawasan
“Di kawasan HBTBB ini ditemukan beberapa permasalahan tumpang tindah penataan kawasan diantaranya, kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung seluas 7.800 ha didalam HBTBB ternyata bertumpang tindah dengan kawasan eksplorasi pertamabgan emas dan perak. Adanya tumpang tindah tanah pengguna masyarakat dengan kawasan huta seluars 32.573ha, serta kawasan hutan lindung yang bertumpang tindah dengan kawasan eksplorasi/eksploitasi geothermal, yang rencananya akan dibangun menjadi Pembangkit Listrik Tenga Panas Bumi,”ungkap Ringoringo
Lebih lanjut ia membeberkan, sesuai dengan hasil overlay yang dimasukkan ke dalam peta GIS, ternyata konsesi PT TPL dan PT Teluk Nauli tumpang tindih, padahal dikeluarkan pada tahun yang sama. HPH PT Teluk Nauli (blok Anggoli) seluas 83.000ha, dalam hutan alam dari perusahaan PMDN berdasarkan SK.414/Kpts-II/2004 tetanggal 19 Oktober 2004, dan PT TPL dengan konsesi seluas 269.060 ha sesuai dengan SK.351/Menhut-II/2004 tertanggal 28/9/2004. Jika diamati dari berbagai data perijinan yang berlaku, ternyata tumapang tindihnya kawasan tersebut akibat dari kesalahan urus kawasan hutan oleh Pemprovsu dan Dinas Kehutan (BPKH)/Dinas Kehutan Provinsi dan Kabupaten, hingga Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan RI. Dimana titik sentral kasus ini pasti berasal dari elit pemerintah Pusat RI. “Untuk itu kami meminta agar pemerintah mencabut indsutri destruktif di kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat,”tegasnya. (Jason Gultom)
Nilai Total Ekonomi Rp 3,6M/Tahun
Taput, Batak Pos
Hutan Batang Toru adalah harta karun Tapanuli. Hutan ini memiliki kekayaan alam yang masih perawan (virgin forest). Hutan Batang Toru ini memiliki dua kawasan hutan, yakni Hutan Dolok Ginjang (HDG) seluas 8.223.837ha dan Hutan Batang Toru Blok Barat (HBTBB) seluas 18.262,35ha di Kecamatan Adian Koting (45762.70ha) yang merupakan dua kawasan penting. Hutan Dolok Ginjang merupakan habitat utama Hariamu Sumatera yang masih tersedia. Sedangkan Hutan Batang Toru Blok Barat menyimpan 67 jenis mamalia, 287 jenis burung, 110 jenis herpetofauna dan 688 jenis tumbuhan. Berdasarkan status konservasinya, terindikasi 20 spesies di dalam status terancam, utamanya habitat orangutan dan Harimau Sumatra yang masih ada di kawasan Tapanuli.
Di kawasan HBTBB terdapat 60 sub DAS (Daerah Aliran Sungai) dengan total luasan daerah 211,690 ha dimana sub DAS terbesarnya dalah sub DAS Pinangsari seluas 9,209 ha yang memiliki perimeter sepanjang 66,113 meter dan sub Das terkecilnya dalah Sialang dengan luas hanya 301.8ha dan perimeter sepanjang 14,959 meter.
Menurut penjelasan Monang Ringoringo selaku Ketua PETRA (Perkumpulan Pengembangan Partisipasi Untuk Rakyat) kepada koran ini baru-baru ini menjelaskan, berdasarkan Dokumen Conservation International (2006) menyimpulkan, total nilai ekonomi nilai guna tak langsung Hutan Batang Toru, seperti untuk penahan bencana, pengatur air, pencegah erosi sebesar Rp69.212.225.920 per tahunnya, dan total nilai guna langsung berupa hasil hutan kayu, pariwisata, PLTA, PLTP tambang emas mencapai Rp3.563,078,680,128 per tahunnya. Sehingga nilai total ekonomi kawasan Hutan Ekosistem Batang Toru sebesar Rp3.632.290.906,48 per tahun.
Kawasan HBTBB juga merupakan pemukinan 53 Desa di 10 Kecamatan yang berada di 3 Kabupaten yang merupakan kawsan ulayat dari suku Batak Toba, Mandaling dan Angkola. Keberadaan spesies kunci dalam kawasan HBTBB dan hutan Dolok Ginjang sebagai indikator dari adanya kekayaan keanekaragaman hayati. Sehingga areal tersebut mejadi penting dari sisi konsrevasi keanekarangman hayati yang masih ada. Keberadaan dua spesies ini juga berpotensi pula menimbulkan konflik manusia-satwa yang serius sehingga diperlukan membuat suatu kajian bersama masyarakat untuk menyatakan kedua kawasan tersebut dengan koridor penghubung, agar gerak dan jelajah dari berbagai jenis satwa tidak terganggu dikemudian hari.
“Berdasarkan data yang yang kita himpun dan data ground chek, di kawsan Hutan Dolok Ginjang, terdapat konsesi PT TPL di kawsan Dolok Ginjang, di enam desa yang berbatasan dengan HBTBB, dimana salah satu hulu Aek Sipansihaporas di Desa Adiankotong dan Desa Sibalanga. Akibat rendahnya nilai penghasilan dan tekanan ekonomi, beberapa masyarakat ikut tergiur melakukan penebangan kayu hutan kepada agen kayu atau dijual untuk kayu bakar dan juga untuk bahan papan bangunan. Dampak dari konsesi PT TPL setelah beroperasi kembali menimbulkan degradasi hutan yang cukup memperihatinkan di bagian Utara dan Timur hutan Register 18,”jelasnya.
Ia juga menegaskan, di dalam kawsan HBTBB terdapat 3 industri destruktif (PT TPL, PT Teluk Nauli dan Agicourt), yang sangat berdampak pada kondisi pelestarian habitat orangutan, Harimau Sumatera, kondisi tutupan hutan, yang kesemuanya memberikan dampak negatif bagi sumber penghidupan manusia yang bermukim di tepi hutan, serta 2 industri yang membutuhkan kelestarian hutan dan sungai, seperti PLTP PT Medco dan PT PLN di Sipansihapora Tapteng dan Aek Raisan.
Tumpang Tindih Penataan Kawasan
“Di kawasan HBTBB ini ditemukan beberapa permasalahan tumpang tindah penataan kawasan diantaranya, kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung seluas 7.800 ha didalam HBTBB ternyata bertumpang tindah dengan kawasan eksplorasi pertamabgan emas dan perak. Adanya tumpang tindah tanah pengguna masyarakat dengan kawasan huta seluars 32.573ha, serta kawasan hutan lindung yang bertumpang tindah dengan kawasan eksplorasi/eksploitasi geothermal, yang rencananya akan dibangun menjadi Pembangkit Listrik Tenga Panas Bumi,”ungkap Ringoringo
Lebih lanjut ia membeberkan, sesuai dengan hasil overlay yang dimasukkan ke dalam peta GIS, ternyata konsesi PT TPL dan PT Teluk Nauli tumpang tindih, padahal dikeluarkan pada tahun yang sama. HPH PT Teluk Nauli (blok Anggoli) seluas 83.000ha, dalam hutan alam dari perusahaan PMDN berdasarkan SK.414/Kpts-II/2004 tetanggal 19 Oktober 2004, dan PT TPL dengan konsesi seluas 269.060 ha sesuai dengan SK.351/Menhut-II/2004 tertanggal 28/9/2004. Jika diamati dari berbagai data perijinan yang berlaku, ternyata tumapang tindihnya kawasan tersebut akibat dari kesalahan urus kawasan hutan oleh Pemprovsu dan Dinas Kehutan (BPKH)/Dinas Kehutan Provinsi dan Kabupaten, hingga Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan RI. Dimana titik sentral kasus ini pasti berasal dari elit pemerintah Pusat RI. “Untuk itu kami meminta agar pemerintah mencabut indsutri destruktif di kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat,”tegasnya. (Jason Gultom)
1 komentar:
nice post..
Posting Komentar