Jumat, 15 Februari 2008

Boa-Boa Sian Huta: Sejarah Uang ORITA (Oeang Reopublik Tapaeonuli)

Boa-Boa Sian Huta: Tahukan Anda Cerita Lagu BUTET?

Boa-Boa Sian Huta: Tolak Bala Nelayan

Melirik Ritwal Parmalim di Balige

Spritual

Melirik Ritwal Agama Malim
di Balige
Acara ritual yang biasa dilakukan di komunitas Malim SiJangkon uras untuk mendoakan, dan untuk memohon sesuatu kepada Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa). Yang menjadi thema dalam acara yang baru-baru ini dilaksanakan di makam Raja Sisinga Mangaraja ke XII di Balige, Tobasa, adalah agar adat dan hukum dapat tertata dengan baik jangan rusak dan betul-betul dilakukan. Dengan tertatanya Adat dan Hukum dapat menjadi kemajuan terutama di Bangso Batak seperti pepatah Batak yang mengatakanJumpang “Naniluluan dapot nanijalahana itu akan tercapai apabila adat dan hukum tertata dapat dijalankan dengan baik”.
Acara ritual ini dilaksanakan atas persetujuan dari kaum komunitas Malim yang sudah sepakat untuk meminta doa kepada Debata Mulajadi Nabolona sesuai kesepakatan raja-raja dan inang soripada, dengan Martonggo apa yang diminta semoga dapat dikabulkan. Pasalnya saat ini sudah banyak terjadi musibah bencana alam seperti Tsunami, bencana longsor dan Gunung berapi meletus. Walau pun bencana tersebut tidak terjadi di Daerah Tobasa, Balige, namun komutas Malim turut iktu merasakan atas musibah yang dialami sesama umat manusia diBumi ini. Oleh karen itu komunitas Malim Si Jangkon Uras berdoa kepada Debata Mulajadi Nabolon agar permohonan mereka dapat dikabulkan.
Uluan (pimpinan) Ritual dipimpin oleh Op. Dongguk Siahaan dari berbagai Desa yakni Panamparan, meranti tegah, Batu mamak, Pintu pohan Meranti dabn lainya sekira Ratusan orang. Ritual ini sejak pagi hari dilaksanakan, mulai persiapan bahan untuk persembahan kepada Debata Mulajadi Nabolon melalui Op Sisingamangaraja XII. Setelah bahan dipersiapkan, terlebih dahulu meminta ijin kepada Op Sisingamangaraja XII yaitu dengan membawa bahan untuk persembahan seperti aek mual natio (air bersih), jeruk purut, dan lainnya yang diperlukan pada acara ritual itu ke makam Op. Sisingamangaraja XII.
Biasanya pada acara ritual Martonggo ini, para penganut kepercayaan Malim turut mempersembahkan hasil bumi mereka untuk disajikan dan seraya berdoa agar kaum komunitas Malim dapat diberikan kesehatan dan mendapat hasil panen yang berlimpah dan dijauhkan dari bala.
Menurut pemaparan Op. Dongguk Siahaan, Malim pada umumnya ada dua, yakni secara fisik dapat dilihat dengan pakaian hitam dan topi hitam, dan topi putih. Malim itu sendiri memiliki arti suci, yang diterjemahkan suci dari penglihatan, pendengaran, pikiran, dan jiwa raga. “Sesuai aliran kepercayaan yang kami anut, bahwa Malim itu menjalankan kepercayaan religiusnya dengan melaksanakan ritwal dengan menggunankan musik gochi dan diiringi sarune untuk memanjatkan doa kepada Debata Mulajadi nabolon,”terannya.
Ditambahkan Op Dongguk Siahaan bahwa ada pun jenis Parmalim yakni Parmalim partali-tali Nabottar dan pratali-tali nabirong. Partali-tali nabottar ada di Laguboti Huta Tinggi, dan Tanoh Datar Parbongoran. Golongan Raja Batak dari kaum Kristen, Muslim dan Budha lainnya bisa masuk si Raja Batak. Tapi kalau aliran kami ini tidak bisa masuk dari aliran lain kecuali aliran Malim itu sendiri, itu bedanya. Contoh Aliran Sisingamangaraja XII sampai kepada pengikutnya seperti kami ini. Aliran tangga-tangga kuasa dalam suatu golongan seperti partangiang, panuturi, Panitangi dan parbaringin. Namun dalam aliran kami sudah tidak ada yang sanggup untuk menjalankan tugas dari aliran parbaringin, namun di komunitas lain parbaringin itu ada. Sesuai ajaran Sisingamangaraja XII adat parmalim kami Si jangkon Uras menggunakan lambang Gantang (timbangan), yang artinya, tidak bisa menyogok dan di sogok.

Tahukan Anda Cerita Lagu BUTET?


Di Gua Nagatimbul Lagu Butet Diciptakan
Jason Gultom


Butet…Dipangunsian do amangmu ale butet..., namargurilla da mardarurat ale butet… Itulah penggalan lagu perjuangan yang cukup terkenal sampai saat ini. Namun tidak semua orang tahu bahwa lagu tersebut sudah mengalami pergesaran syair, dan tidak semua juga orang tahu kalau lagu itu diciptakan di Gua Nagar Timbul yang letaknya berada di tengah Hutan Naga Timbul, Kecamatan Sitahuis Kabupaten Tapanuli Tengah. Guan itu lah yang pertama kali menjadi saksi berkumandangnya lagu BUTET.
Lantas bagimana sebenarnya isi sayir lagu Butet itu? Menurut pengakuan warga Nagatimbul dan juga warga Sitahuis sewaktu dijumpai METRO beberapa waktu lagu menjelaskan, bahwa syair asli lagu Butet itu adalah seperti berikut. “Butet…di Sitahuis do Amangmu ale Butet…damancentak hepeng Orita ale Butet…damancetak hepeng Orita ale Butet.
Memang sampai saat ini tidak diketahui siapa pencipta lagu tersebut, hal itu dibuktikan dalam sampul kaset atau lagu yang sering dinyanyikan pada saat menjelang kemerdekaan yang nama penciptanya ditulis NN. Namun menurut pengakuan warga Sitahuis dan Desa Nagatimbul bahwa lagu itu dinyanyikan br Tobing warga Sitahuis sewaktu menina bobokan borunya (Butet dalam bahasa batak).
“Menurut sejarah, bahwa lagu Butet itu dinyanyikan di Gua perjuangan yang terdapat di hutan Nagatimbul ini, dimana masyarakat Sitahuis dan Nagatimbul bersembunyi di gua tersebut, sementara kaum pria waktu itu berada di Sitahuis untuk berjaga-jaga dan sebagian ada yang mencetak uang ORITA (Oeang Republik Tapanoloe, yang merupakan ejaan lama). Dimana waktu itu tempat percetakan uang ORITA adalah di Sitahuis. Sewaktu putri br Tobing ini yang disebut Si Butet mau tidur ibunyapun menina bobokannya dengan lagu Butet,”aku sejumlah warga Desa Sitahuis dan Nagatimbul.
Masih seputar penjelasan warga, setelah Sitahuis dikuasi Belanda dan menjadikan Desa Sitiris yang masih satu Kecamatan dengan Sitahuis menjadi markas Belanda, percetakan uang Orita itupun dibakar sibontar mata (sebutan bagi Belanda) namun mesin cetak uang tersebut masih sempat diselamatkan dan dibawa kedalam gua perjuangan di hutan Nagatimbul. Aktivitas percetakan uangpun sempat berlanjut di gua tersebut, namun sangat disayangkan bahwa mesin cetak uang itu tidak diketahui dimana keberadaannya sekarang ini.
“Kami tidak tahu lagi kemana mesin cetak tersebut dibawa para pejuang kita dulu, hanya saja menurut sejarahnya di gua perjuangan yang berada di hutan Nagatimbul masih sempat dicetak uang ORITA sebagai alat tukar yang sah waktu itu. Makanya Belanda terus mengejar dan berusaha untuk mengambil percetakan tersebut. Namun sangat disayangkan mesin cetak itu sampai saat ini tidak diketahui dimana keberadannya, apakah berhasil dibawa Belanda atau tidak,”aku Kepala Desa Nagatimbul R Pasaribu.
Awak koran inipun terus menelusuri tentang lokasi percetakan uang ORITA yang berada di Sitahuis yang saat ini sudah menjadi Kecamatan Sitahuis. Usaha METROpun tidak sia-sia, dimana lokasi percetakan tersebut berhasil ditemukan di rumah Andareas Aritonang. Menurut pengakuan Camat Sitahuis Joseph dan juga pemilik rumah yang berada dikawasan perkantoran Camat Sitahuis dan warga Sitahuis membenarkan bahwa di rumah Andareas Aritonang uang ORITA tersebut dicetak.
“Memang benar inilah rumah yang menjadi bukti sejarah tempat dicetaknya ORITA, memang rumah ini sudah mengalami pemugaran namun hanya bagian depan saja, itupun kami jadikan sebagai warung, sedangkan pada bagian tengah rumah dan loteng rumah ini masih bawaan rumah dulu. Dan diruang tengah inilah uang tersebut dicetak,”aku T br Simatupang (Op Jesri) saat ditemui METRO dikediamannya di Sitahuis.
Lebih lanjut Op Jesri yang sudah berusia 81 tahun ini menuturkan, Belanda terus mencari dimana lokasi percetakan uang ORITA, karena dengan adanya uang ORITA, maka uang Belanda tidak berlaku waktu itu, akunya. Namun sangat disayangkan bahwa uang tersebut tidak adalagi dimiliki Op Jesri dan juga keluarganya.
“Memang dulu ada saya simpan, tapi saya tidak terfikir bahwa uang itu akan berarti nantinya, makanya keberadaan uang tersebut tidak terlampau kami pedulikan saat itu,”kata Op Jesri.
Op Jesri juga tidak mengingat lagi kapan uang tersebut dicetak di Sitahuis, demikian juga dengan warga sekitarnya, mereka hanya mengingat bahwa dirumah Andareas Aritonang uang ORITA dicetak, sedangkan dibagian depan rumah tersebut duluny ada gudang yang menjadi tempat penyimpanan barang-barang percetakan dan juga peralatan perang pejuang Tapanuli dulunya.
Sekarang kawasan tersebut suda berdiri rumah tinggal penduduk, termasuk dilahan yang dulunya gudang sudah menjadi rumah penduduk, sedangkan dikawasan sekitarnya sudah berdiri kantor Camat Sitahuis. Warga juga berharap agar bukti-bukti sejarah yang masih tertinggal dapat dirawat dan dilestarikan, karena suatu saat hal itu menjadi bukti sejarah yang sangat berarti bagi generasi berikutnya, apalagi Propinsi Tapanuli sudah terwujud nantinya akan menjadi sejarah baru bagi Propinsi Tapanuli yang kita harapkan dapat segera terwujud, harap warga. (***)

Antara Obat dan Penyakit

Merokok
Dapat Merusak
Kesehatan??
"
Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin". Begitulah selogan yang terdapat dalam bungkus rokok.
Lantas timbul pertanyaan, kalau memang gara-gara merokok dapat menyebabkan hal yang diatas, kenapa sampai saat ini masih banyak orang yang meroko? termasuk saya sendiri!
Mungkin beragam tanggapan yang muncul tentang hal itu. Namun bagi saya pribadi, merokok itu antara Obat dan Penyakit. Kenapa saya katakan demikian? Terserah anda menilai jawabanku ini. Saya baru merokok setelah tamat SMA, awalnya karena pingin saja merokok. Setelah saya coba rasanya biasa-biasa saja. Saat itu timbul pertanyaan pada diri saya. "Kalau memang merokok tidak ada
manfaatnya, kenapa orang terus meroko?". Itulah pertanyaan yang selalu timbul dalam benak saya ketika itu. Ternyata pertanyaan itu dijawab oleh keadaanku saat itu. Saya masih ingat sekitar tahun 1995 sewaktu aku masih berada di Jakarta. Saya terbelenggu dengan berbagai persoalan pekerjaan. Karena merasa pusing, saya pun kembali merokok, setelah saya hisap, ada ketenangan, dan sepertinya ada solusi untuk mengatasi masalahku itu. Dengan timbulnya ide tersebut, saya pun berhasil mengalahkan persoalan tersebut. Atas pengalaman itu lah saya menilai bagi diri saya sendiri bahwa merokok itu dapat memberikan obat.

Saya yakin, pasti banyak yang tidak setuju dengan pendapat saya ini, hanya saja saya ingin menyampaikan pengalaman saya setelah merokok. Mungkin saya anda menilai bahwa saya sudah ketergantungan dengan rokok. Namun seandainya saat itu saya tidak merokok, mungkin tidak tahu apa yang terjadi pada diriku.

Sejak peristiwa itu lah samapi sekarang saya hidup berdampingan dengan rokok, dan setiap saya menikmati kebulan asap yang masuk dapam mulutku selalu ada ide dan solusi yang terlintas dibenakku. Bagiku rokok itu adalah Obat..

ORITA (Oeang Repoeblik Tapanoeli)

Sejarah Uang ORITA
Oleh Jason Gultom
Dari Mata Uang ORI, ORIPS, Sampai ORITA
Sejarah keberadaan ORITA (Oeang Repoeblik Indoesia Tapanoeli) yang dicetak di Siahuis Kecamatan Sitahuis Kabupaten Tapanuli Tengah kini semakin jelas keberadaannya. Berdasarkan hasil investiasi METRO keberbagai sumber, salah satunya kepada putra kandung pencetak uang ORITA Bistok Siregar yang kini masih tinggal di Sibolga yaitu Eben Siregar ( 47) dan juga cucu Pahlawan Nasional asal Sibolga Dr Ferdinand Lumbantobing, Berlin Tobing (38). Dari hasil wawancara METRO Sabtu (7/4) di kediamanan Rumah Sang Pahlawan dan juga dikediaman Eben Siregar menyebutkan, bahwa sebelum ORITA dicetak sudah ada jenis uang sebelumnya, yaitu ORI (Oeang Repoeblik) dan ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Poelau Sumatera). Menurut Berlin cucu Pahlawan Nasional Dr Ferdinand Tobing, tentang sejarah ORITA sudah dituliskan sang Pahlawan dalam sebuah buku yang berjudul Pahlawan Kemerdekaan Nasional Dr Ferdinand Lumbantobing Patriot Pembela Republik. “Agar saya jangan menceritakan, lebih baik anda membaca isi buku ini,”katanya sembari memberikan buku tersebut. Dalam buku terbitan tahun 1997 itu dijelaskan, walaupun Jepang sudah kalah dan Republik Indonesia sudah berdiri, namun mata uang yang beredar waktu itu masih mata uang Jepang yang telah berlaku sejak zama pendudukan Jepang sampai tahun 1944. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 barulah Pemerintah Pusat Republik Indonesia mengeluarkan alat pembayaran sendiri, yaitu Oeang Repoeblik atau disingkat dengan ORI. Sejak bulan Oktober 1946, Oeang Repoeblik (ORI) sebagai alat tukar yang baru pengganti uang Jepang. Uang ORI sudah diedarkan ke Sumatera dengan nilai tukar 1:100 antara ORI dengan uang Jepang Yen. Namun demikian persediaan alat tukar ORI yang diterima di Sumatera tidaklah mencukupi. Untuk mengatasi masalah tersebut, Gubernur Sumatera yang berkedudukan di Pematangsiantar sesuai dengan maklumat Gubernur tanggal 8 April 1947, mencetak uang khusus untuk Sumatera yaitu Oeang Repoblik Indonesia Poelau Soematera atau disingkat dengan ORIPS. Tetapi itupun belum memadai, karena setiap Daerah Keresidenan harus membiayai sendiri gaji pegawai termasuk Polisi,Tentara, dan untuk keperluan kantor, obat-obatan dan lain-lainnya. Sejak itu beberapa daerah lainnya mendesak agar diizinkan untuk mencetak mata uangnya sendiri-sendiri. Sementara itu seluruh daerah keresidenan di Sumatera sangat terdesak oleh kekurangan uang untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pertahanan di daerahnya masing-masing, serta guna memperlancar roda ekonomi daerah. Setelah Agresi Militer yang pertama dimana Pemerintah Provinsi Sumatera mengungsi dari Pematangsiantar ke Bukit Tinggi, maka percetakan dan persediaan ORIPS juga berantakan karena Pematangsiantar sudah diduduki musuh. Akibatnya Pemerintah Provinsi tidak mampu lagi memasok persediaan uang untuk belanja pemerintah Keresidenan. Menghadapi situasi yang tidak menentu itu maka Residen Tapanuli telah meminta persetujuan Gubernur agar diizinkan untuk mencetak uang sendiri bagi kebutuhan Tapanuli. Gubernur setuju dan memberikan kuasa syah untuk Tapanuli saja. Uang itu disebut Oeang Repoeblik Indonesia Tapanoeli atau disingkat ORITA. Percetakan uang ORITA itu dilakukan di Aek Sitahuis yang disebut juga sebagai Sibolga II, dimana daerah Sitahuis sudah dipersiapkan menjadi Kota candangan ibu kota Tapanuli, jika Sibolga (yang disebut Sibolga I) diserang musuh. Untuk percetakan uang ORITA tersebut diangkutlah mesin cetak dari Percetakan Philemon bin Haroen Siregar yang ada di Sibolga ke Aek Sitahuis. Oleh karena dizaman revolusi Indoesia masih kekurangan maka tentu saja uang ORITA itu tidak seperti uang zaman sekarang. Kertanya sederhana dan tintanyapun bukanlah yang waterproof. Kadang-kadang setelah dicetak perlu dijemur lebih dahulu, agar cetakannya cepat kering, karena yang membutuhkan uang tersebut sudah antri menunggu. Banyaknya uang dicetak tidaklah semaunya sendiri tetapi didasarkan pada otoritas dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kresidenan. Dan untuk pengawasan pengeluarannya, setiap lembar uang ORITA ditandatangani oleh seorang pejabat keuangan yang ditunjuk oleh Residen. Khusus diwilayah Keresidenan Tapanuli Dr Ferdinand Tobinglah yang menandatanganinya. Walaupun proses penecatakan dan pengluaran ORITA itu sangat sederhana saja namun pada waktu itu tidak pernah ada kedengaran yang berbuat curang atau korupsi. Semua pegawainya bersifat jujur dengan bertanggungjawab, karena Residen Tapanuli Ferdinand Tobing sebagai atasannya juga sangat jujur dan penuh tanggungjawab dan tidak pernah berbuat yang menguntungkan kepribadiannya atau keluargaanya. Semuanya berjalan diatas rel kejujuran dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga terciptalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Namun pada masa Agresi Militer Belanda kedua, ketika Belanda tiba di Aek Sitahuis percetakan itu belum sempat dipindahkan. Oleh Belanda percetakan itu disegel dan tidak boleh dibuka dan disuruh dijaga polisi kita yang tinggal di di Aek Sitahuis dengan ancaman akan ditembak jika barang-barang yang disegel itu hilang. Tetapi pada malam harinya pemuda-pemuda PRS ( Pertahanan Rakyat Semesta) Aek Sitahuis bersama Aek Raisan membongkar segel Belanda tersebut dan semua barang-barang pemerintah Keresidenan dan Dewan Pertahanan termasuk mesin cetak ORITA itu diangkut kepedalaman. Kemudian mesin-mesin cetak itu ditempatkan disuatu tempat yang dirahasiakan dipedalaman sebagaimana yang ditentukan wakil Komandan Sub Teritorial VII Letkol W Siahaah. Pada pertengahan bulan Feburari tahun 1949 percetakan itupun telah berhasil kembali mencetak ORITA yang diperlukan oleh pemerintah dan pasukan gerilya TNI di pedalaman.

Uang Republik Tapanuli dan Mesin Cetaknya

Foto Mesin Cetak ORITA yang masih ada di Sibolga, Sumatera Utara

Mesin Cetak ORITA Itu Tinggal Kenangan
Catatan Jason Gultom Wartawan METRO TAPANULI
Ada kebanggan tersendiri bagi masyarakat Tapanuli, dimana pada masa keresidenan dahulu, wilayah Tapanuli sudah dipercaya pemerintah saat itu untuk mencetak mata uang sendiri, yang diberi nama ORITA (Oeang Repoeblik Tapanuloe). Munculnya kepermukaan tentang uang ORITA ini atas envestigasi Jason Gultom selaku wartawan harian METRO TAPANULI. Dimana waktu itu METRO TAPANULI memberitakan bukti-bukti sejarah perjuangan masyarakat Tapteng untuk melawan Belanda khususnya yang ada di Kecamatan Sitahuis dan Desa Nagatimbul Kabupaten Tapanuli Tengah , respon pembaca metro sangat antusias, hal itu dibuktikan dengan adanya laporan dari pembaca METRO tentang keberadaan mesin cetak uang ORITA sebagai mata uang Republik Tapanuli waktu itu. Salah seorang pembaca METRO TAPANULI, Bagdani Siregar (62) warga Pasar Belakang Kecamatan Sibolga Kota menghubungi Kantor METRO untuk memberitahukan bahwa mesin cetak ORITA masih ada dirumahnya. Mendapat informasi tersebut, awak METRO langsung turun kekediaman Bagdani.
Menurut penuturan Bagdani Siregar kepada METRO mengatakan, mesih cetak tersebut adalah milik sahabatnya Horas Siregar yang merupakan putra pemilik percetakan Philemon Bin Harun Siregar.
“Tahun 2004 lalu kami bersama Horas Siregara sudah sepakat kerjasama untuk membuka percetakan dengan menggunakan mesin cetak uag ORITA. Hanya saja waktu itu itu keadaan mesin cetak ini sudah tua jadi kecepatannya sudah berkurang dibandingkan dengan mesin cetak yang baru. Atas kesepakatan bersama kami putuskan untuk merememajakan mesin cetak tersebut dengan meminta bantuan dari Wali Kota saat itu. Hanya saja Wali Kota mengatakan, bahwa Pemko Sibolga tida memiliki museum untuk menyimpan mesin cetak tersebut,”akunya.
Karena usulan kami tidak diterima Wali Kota saat itu lanjut Bagdani, akhirnya kami mengajukan proposal ke Bank Indonesia Sibolga. Saat itu pihak Bank Indonesia besedia dan sudah turun ke tempat ini untuk melakukan pengecekan dan mengambil foto mesin cetak tersebut, Pihak BI waktu itu berjanji akan berusaha membantu. Namun setelah ditunggu sekain lama tidak ada hasil, dan akhirnya teman saya Horas Siregar berangkat ke Jakarta langsung ke Bank Indonesia. Menurut keterangan BI Jakarta, harus ada klise uang ORITA sebagai bukti bahwa mesin tersebut pernah mencetak uang ORITA. Padahal waktu itu klise uang ORITA terbuat dari serat kayu dan itu tidak bisa lagi ditemukan. Sejak itulah teman saya Horas Siregar tidak pulang lagi ke Sibolga ini sampai sekarang.
“Karena tidak ada kepastian, akhirnya mesin cetak ini dititip kepada saya sampai sekarang, karena saya memiliki gudang yang lumayan lebar sehingga bisa menyimpan alat-alat mesin percetakan,”terangnya.
Lebih lanjut dikatakan Bagdani, setelah membaca berita METRO tentang tulisan uang ORITA saya langsung teringat dan tentang keberadaan mesin cetak ini, makanya saya langsung menhubungi METRO, agar masyarakat tahu dan juga pemerintah bisa memberikan perhatian akan keberadaan mesin cetak yang memiliki sejarah berharga ini.
“Sebenarnya saya tidak tahu banyak tentang keberadaan mesin cetak uang ini, karena yang mengetahui sejarah tersebut adalah orangtua teman saya, Bapak Philemon Siregar, karena merekalan pertama kali yang memiliki percetakan di Sibolga ini. Karena tidak ada yang memperdulikan, mesin cetak ini kamipun menyimpannya begitu saja di gudang ini,”akunya.
Hasil amatan METRO mesin pencetak uang ORITA ini masih tampak bagus, hanya saja sudah banyak pelaratannya yang berkarat. Mesin cetak tersebut terdidi dari tiga bagian, dan ketigany masih tersimpan digudang milik Bagdani Siregar. Sedangkan uang ORITA hasil cetakan mesin tersebut masih ada tertinggal disana sebagai barang bukti, yaitu uang pecahan 500rupiah yang dicetak pada tanggal 5 Januari 1947-1949 nomor seri 45917. Sedangkan pada bagian mesin cetak tedapat tulisan The Chandler and price co Cleveland, ohic USA.
Selain uang pecahan 500 rupiah juga terdapat pecahan uang satu rupiah yang dicetak pada tanggal 25 September 1947, dengan bukti surat keterangan dari Keresidaenan Tapanoeli.
Kepada METRO Bagdani Siregar mengharapkan, agar pemerintah khususnya Pemkab Tapteng dapat memperhatikan keberadaan mesin cetak tersebut, karena jasa mesin tersebut telah dirasakan masyarakat Tapanuli pada masa penjajahan. Selain itu percetakan uang ORITA berlangsung dulunya di Sitahuis, dan itu merupakan bagian wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.
“Kami berharap agar Pemkab Tapteng menanggapi keberadaan mesin cetak uang ORITA ini sehingga tidak terlantar seperti sekarang ini, karena mesin cetak ini sudah permah memerima pengharagaan berupa piagam dari menteri Pariwisata RI yang menyatakan mesin ini adalah mesin pencetak uang ORITA,”harapnya.

Asa Unang Lilu Hita

Taromboni Marga Gultom

Seperti kita ketahui, Toga Gultom adalah keturunan No. 1 dari Si Raja Sonang. Keturunan yang lain adalah Toga Samosir, Toga Pakpahan, dan Toga Sitinjak.

Pada jaman dahulu kala manusia di bumi ini masih sedikit. Si Raja Sonang membagi-bagi daerah kekuasaannya kepada keempat anaknya. Toga Gultom mendapat bagian di suatu tempat di P. Samosir yang bernama Tujuan Laut. Tempat ini adalah daerah pertama yang diduduki oleh Toga Gultom.Toga Gultom memiliki empat orang anak yaitu Huta Toruan (Tujuan Laut), Huta Pea, Huta Bagot, dan Huta Balian. Seluruh keturunan Toga Gultom hidup di Tujuan laut tersebut dan setelah mereka menjadi banyak, mereka membuka lahan disekitarnya, diantaranya Sitamiang yang diberikan kepada Huta Toruan.

Pada suatu saat salah seorang keturunan Huta Pea, yaitu Si Palang Namora menyebrang lautan menuju ke daerah Sibisa dan menetap disana. Daerah Sibisa adalah daerah yang diduduki oleh marga Sirait. Didaerah ini Si Palang Namora menikah dengan boru Sirait dan memiliki beberapa orang anak, yaitu Tumonggopulo, Namoralontung, Namorasende, dan Raja Urung Pardosi.

Keadaan ekonomi keluarga Si Palang Namora ini berkembang dengan baik dan menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan perekonomian anak lelaki dari keluarga Sirait. Hal ini menimbulkan ketakutan pada keluarga Sirait, sehingga mereka berusaha agar Si Palang Namora meninggalkan kampung mereka.
Pada akhirnya Si Palang Namora meninggalkan daerah Sibisa dan kembali ke P. Samosir. Akan tetapi salah seorang anak tidak ikut bersama mereka, yaitu Raja Urung Pardosi. Pada saat itu Raja Urung Pardosi sedang menimba ilmu hadatuon di daerah Hatinggian.

Si Palang Namora bersama keluarganya menetap di P. Samosir. Ketiga anak yang ikut bersamanya pada akhirnya menyebar ke beberapa daerah di sekitar Tujuan Laut, yaitu Sitamiang, Huta Hotang, Janji Matogu, Siriaon, dan Gonting.
Anak No. 1 dan 2, yaitu Tumonggopulo dan Namoralontung menyebar ke Gonting. Sedangkan anak no. 3 (Namorasende) menduduki daerah Huta Hotang.
Selanjutnya penyebaran keturunan Gultom Huta Pea adalah ke daerah Janji Matogu dan Siriaon. Penyebaran ke daerah ini dimulai dari keturunan Ompu Saruambosi (Raja Na Iringgit), yaitu keturunan Gultom Huta Pea generasi ke 10 (dapat dilihat pada bagian Family Tree/Tarombo) dari anak ketiga si Palang Namora. Ceritanya, Raja Na Iringgit memiliki empat orang permaisuri, yaitu:1. Br. Parhusip2. Br. Samosir3. Br. Parhusip4. Br. Manurung

Permaisuri yang pertama, yaitu Br. Parhusip tidak memiliki anak lelaki. Permasuri yang kedua, yaitu Br. Samosir, menurunkan tiga orang anak lelaki, yang kemudian bermukim di Siriaon. Sedangkan permaisuri yang ketiga, yaitu Br. Parhusip menurunkan lima orang anak lelaki, yang kemudian bermukim di Janji Matogu. Permaisuri yang keempat, yaitu Br. Manurung, menurunkan empat orang anak Lelaki, yang kemudian bermukim di Sitamiang. Masing-masing anak menjadi cikal bakal penyebaran Gultom ke daerah tersebut.
Penyebaran Keturunan Gultom Huta Toruan ke daerah Siregar

Gultom Huta Toruan yang bermukim di daerah Sitamiang pada akhirnya banyak yang menetap dan bertambah banyak di daerah Siregar. Adapula yang menyebar ke daerah lain, misalnya Pangaribuan. Adapun keturunan Gultom Huta Toruan adalah:1. Op. Parpodang2. Op. Martabun3. Op. Sonar
Penyebaran Keturunan Gultom Huta Pea ke Pangaribuan.
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa Raja Urung Pardosi tidak ikut pulang ke P. Samosir bersama keluarganya, karena saat itu ia sedang menimba ilmu hadatuon di daerah Hatinggian.
Seperti layaknya seorang anak yang baru saja menyelesaikan sekolah, Raja Urung Pardosi hendak pulang ke rumah orang tuanya di Sibisa. Akan tetapi ia mendapati rumah orang tuanya kosong. Akhirnya bersama dua orang teman seperguruannya, yaitu Harianja dan Pakpahan, mereka berjalan terus. Dalam perjalanan itulah mereka menemukan burung Tekukur.

Mereka berusaha menangkap burung itu dengan cara menyumpitnya, agar burung itu jatuh. Tetapi burung itu sulit sekali ditangkap sehingga tanpa disadari mereka terus mengikuti burung itu sampai hari gelap. Akhirnya mereka sampai di suatu daerah yang bernama Pangaribuan. Disana mereka ditampung oleh sebuah keluarga bermarga Pasaribu. Sebagai tuan rumah yang baik, Pasaribu berusaha melayani tamunya dengan baik.
Pasaribu meminta sang istri untuk menyediakan makanan bagi para tamu. Akan tetapi si istri menginformasikan bahwa tidak ada lauk-pauk yang dapat disajikan. Pasaribu menjawab,”Huting ima seat”(kucing itu saja potong). Akhirnya si istri menyembelih huting (kucing), dan mengolahnya menjadi makanan siap saji yang berupa tanggo-tanggo, sementara tamu-tamu mereka beristirahat.

Setelah makanan siap disajikan, Pasaribu membangunkan tamu-tamunya, dan mempersilahkan mereka makan. Raja Urung Pardosi bertanya kepada teman-temannya, “Apa lauknya?”. Yang dijawab oleh teman-temannya, “Tanya saja!”. Karena mereka telah menimba ilmu hadatuon, mereka memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang bagi orang lain mustahil.

Akhirnya Raja Urung Pardosi bertanya kepada tanggo-tanggo di meja makan,”Jika engkau ayam, berkokoklah!”, namun tidak terjadi sesuatu. Raja Urung Pardosi bertanya kembali, “Jika engkau kambing, mengembiklah”, namun tetap tidak terjadi sesuatu. Raja Urung Pardosi dan teman-temannya terus menyebutkan nama-nama hewan, namun tanggo-tanggo itu tetap tidak bersuara, sampai akhirnya salah seorang menyebutkan,”Jika engkau kucing, mengeonglah”, akhirnya berloncatanlah kucing dari dalam piring tanggo-tanggo itu.
Pasaribu yang melihat kejadian itu menjadi kaget, dan lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ketiga tamunya bukan manusia biasa. Seluruh kampung menjadi geger, dan akhirnya melarikan diri keluar dari daerah itu. Adapun ketiga orang itu, Raja Urung Pardosi, Harianja, dan Pakpahan, akhirnya menetap di daerah itu.

Raja Urung Pardosi, yang digelari Datuk Tambun, ini menjadi keturunan Gultom pertama yang menetap di Pangaribuan.Ia memiliki empat orang anak, yaitu:1. Namora so Suharon yang tinggal di desa Parlombuan2. Baginda Raja, tinggal di desa Parsibarungan3. Saribu Raja, tinggal di desa Batumanumpak4. Pati Sabungan, tinggal di desa Batunadua
Selanjutnya penyebaran meluas ke daerah Sipirok, yang dimulai dari keturunan Saribu Raja. Saribu Raja memiliki dua orang anak yaitu, Namora Soaloon yang tetap tinggal di desa Batumanumpak, dan Babiat Galemun, yang kemudian tinggal di desa Simangambat, Sipirok.
Penyebaran Keturunan Gultom Huta Bagot & Huta Balian

Pada saat keluarga Si Palang Namora kembali ke P. Samosir, setelah bermukim sekian lama di Sibisa, keturunan Gultom Huta Bagot, menyebar ke beberapa daerah, termasuk ke Sumatera Timur. Namun ada satu daerah yang diakui sebagai “tanah air” keturunan Gultom Huta Bagot, yaitu daerah Joring.
Sedangkan keturunan Gultom Huta Balian, pada umumnya bermukim di daerah Sipollung di Sitamiang.
Demikianlah sejarah penyebaran keturunan Toga Gultom secara garis besar. Mungkin akan lebih baik jika perwakilan dari masing-masing anak Toga Gultom, melengkapi kisah penyebaran marga Gultom, mengapa bisa sampai di kampung halaman Anda saat ini, karena tidak ada cerita yang lebih baik selain dari Anda sendiri yang menjadi tokoh ceritanya.

(Nara Sumber: M.X Gultom, Sahrun Gultom, Founder Gultom Foundation)
Disadur dari www. toga gultom

PUISI

Biarlah Kesedihan Ini Larut Bersama Waktu

Kehidupan terkadang memang tindkalah mudah
Ada masa-masa kita berbahagia dalam semburat tawa
Dan ada pula masa-masa sulit
Bahkan terkadang ditingkah derai air mata

Suka dan duka silih berganti
Mendampingi perjalanan hidup
Perjalanan yang kadang harus melalaui onak dan duri
Yang membuat kita terpanah didera kesulitan
Meskipun tak jarang pula perjalanan terasa begitu indah
Bagaikan berselancar di atas gelombang lautan
Dibalut sinar yang bercahaya

Rasanya kita tidak bisa menafsirkan bahwasanya sebagai manusia biasa
Suasana hati kita juga diselimuti oleh nafsu ambisi
Untuk senantiasai menjadi yang terdepan

Kadang kekuasaan begitu melelahkan
Bahkan menina bobokan, membuai hanyut dalam mimpi indah
Ketika Tuhan bercerita lain
Maka izinkan terasa air mata ini bergulir
Ditengah galaunya perasaan

Oh.. Tuhan...
Siang dan malam Engkau gantikan begitu cepat
Putaran waktu bagaikan kilat yang datang menyambar

Oh..Tuhan Kami Maha Penyayang...
Kami tak sanggup lagi untuk berkata, berbicara
Bahkan walau hanya untuk berbisik berbagi cerita

Biarlah kesedihan ini larut bersama waktu
Biarlah kesedihan ini tercurah mengalir mencari jalannya sendiri
Biarlah air mata ini jatuh di atas pualam yang indah
Karena itulah cerminan hati.

Biarlah tetesan itu mengalir berbaur bersama air sungai
Mengalir jauh bersama air yang jernih
Agar perasaan kami menjadi tenang
Agar kegundahan kami dapat terbang bersama mimpi duka.