Sejarah Uang ORITA
Oleh Jason Gultom
Dari Mata Uang ORI, ORIPS, Sampai ORITA
Oleh Jason Gultom
Dari Mata Uang ORI, ORIPS, Sampai ORITA
Sejarah keberadaan ORITA (Oeang Repoeblik Indoesia Tapanoeli) yang dicetak di Siahuis Kecamatan Sitahuis Kabupaten Tapanuli Tengah kini semakin jelas keberadaannya. Berdasarkan hasil investiasi METRO keberbagai sumber, salah satunya kepada putra kandung pencetak uang ORITA Bistok Siregar yang kini masih tinggal di Sibolga yaitu Eben Siregar ( 47) dan juga cucu Pahlawan Nasional asal Sibolga Dr Ferdinand Lumbantobing, Berlin Tobing (38). Dari hasil wawancara METRO Sabtu (7/4) di kediamanan Rumah Sang Pahlawan dan juga dikediaman Eben Siregar menyebutkan, bahwa sebelum ORITA dicetak sudah ada jenis uang sebelumnya, yaitu ORI (Oeang Repoeblik) dan ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Poelau Sumatera). Menurut Berlin cucu Pahlawan Nasional Dr Ferdinand Tobing, tentang sejarah ORITA sudah dituliskan sang Pahlawan dalam sebuah buku yang berjudul Pahlawan Kemerdekaan Nasional Dr Ferdinand Lumbantobing Patriot Pembela Republik. “Agar saya jangan menceritakan, lebih baik anda membaca isi buku ini,”katanya sembari memberikan buku tersebut. Dalam buku terbitan tahun 1997 itu dijelaskan, walaupun Jepang sudah kalah dan Republik Indonesia sudah berdiri, namun mata uang yang beredar waktu itu masih mata uang Jepang yang telah berlaku sejak zama pendudukan Jepang sampai tahun 1944. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 barulah Pemerintah Pusat Republik Indonesia mengeluarkan alat pembayaran sendiri, yaitu Oeang Repoeblik atau disingkat dengan ORI. Sejak bulan Oktober 1946, Oeang Repoeblik (ORI) sebagai alat tukar yang baru pengganti uang Jepang. Uang ORI sudah diedarkan ke Sumatera dengan nilai tukar 1:100 antara ORI dengan uang Jepang Yen. Namun demikian persediaan alat tukar ORI yang diterima di Sumatera tidaklah mencukupi. Untuk mengatasi masalah tersebut, Gubernur Sumatera yang berkedudukan di Pematangsiantar sesuai dengan maklumat Gubernur tanggal 8 April 1947, mencetak uang khusus untuk Sumatera yaitu Oeang Repoblik Indonesia Poelau Soematera atau disingkat dengan ORIPS. Tetapi itupun belum memadai, karena setiap Daerah Keresidenan harus membiayai sendiri gaji pegawai termasuk Polisi,Tentara, dan untuk keperluan kantor, obat-obatan dan lain-lainnya. Sejak itu beberapa daerah lainnya mendesak agar diizinkan untuk mencetak mata uangnya sendiri-sendiri. Sementara itu seluruh daerah keresidenan di Sumatera sangat terdesak oleh kekurangan uang untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pertahanan di daerahnya masing-masing, serta guna memperlancar roda ekonomi daerah. Setelah Agresi Militer yang pertama dimana Pemerintah Provinsi Sumatera mengungsi dari Pematangsiantar ke Bukit Tinggi, maka percetakan dan persediaan ORIPS juga berantakan karena Pematangsiantar sudah diduduki musuh. Akibatnya Pemerintah Provinsi tidak mampu lagi memasok persediaan uang untuk belanja pemerintah Keresidenan. Menghadapi situasi yang tidak menentu itu maka Residen Tapanuli telah meminta persetujuan Gubernur agar diizinkan untuk mencetak uang sendiri bagi kebutuhan Tapanuli. Gubernur setuju dan memberikan kuasa syah untuk Tapanuli saja. Uang itu disebut Oeang Repoeblik Indonesia Tapanoeli atau disingkat ORITA. Percetakan uang ORITA itu dilakukan di Aek Sitahuis yang disebut juga sebagai Sibolga II, dimana daerah Sitahuis sudah dipersiapkan menjadi Kota candangan ibu kota Tapanuli, jika Sibolga (yang disebut Sibolga I) diserang musuh. Untuk percetakan uang ORITA tersebut diangkutlah mesin cetak dari Percetakan Philemon bin Haroen Siregar yang ada di Sibolga ke Aek Sitahuis. Oleh karena dizaman revolusi Indoesia masih kekurangan maka tentu saja uang ORITA itu tidak seperti uang zaman sekarang. Kertanya sederhana dan tintanyapun bukanlah yang waterproof. Kadang-kadang setelah dicetak perlu dijemur lebih dahulu, agar cetakannya cepat kering, karena yang membutuhkan uang tersebut sudah antri menunggu. Banyaknya uang dicetak tidaklah semaunya sendiri tetapi didasarkan pada otoritas dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kresidenan. Dan untuk pengawasan pengeluarannya, setiap lembar uang ORITA ditandatangani oleh seorang pejabat keuangan yang ditunjuk oleh Residen. Khusus diwilayah Keresidenan Tapanuli Dr Ferdinand Tobinglah yang menandatanganinya. Walaupun proses penecatakan dan pengluaran ORITA itu sangat sederhana saja namun pada waktu itu tidak pernah ada kedengaran yang berbuat curang atau korupsi. Semua pegawainya bersifat jujur dengan bertanggungjawab, karena Residen Tapanuli Ferdinand Tobing sebagai atasannya juga sangat jujur dan penuh tanggungjawab dan tidak pernah berbuat yang menguntungkan kepribadiannya atau keluargaanya. Semuanya berjalan diatas rel kejujuran dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga terciptalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Namun pada masa Agresi Militer Belanda kedua, ketika Belanda tiba di Aek Sitahuis percetakan itu belum sempat dipindahkan. Oleh Belanda percetakan itu disegel dan tidak boleh dibuka dan disuruh dijaga polisi kita yang tinggal di di Aek Sitahuis dengan ancaman akan ditembak jika barang-barang yang disegel itu hilang. Tetapi pada malam harinya pemuda-pemuda PRS ( Pertahanan Rakyat Semesta) Aek Sitahuis bersama Aek Raisan membongkar segel Belanda tersebut dan semua barang-barang pemerintah Keresidenan dan Dewan Pertahanan termasuk mesin cetak ORITA itu diangkut kepedalaman. Kemudian mesin-mesin cetak itu ditempatkan disuatu tempat yang dirahasiakan dipedalaman sebagaimana yang ditentukan wakil Komandan Sub Teritorial VII Letkol W Siahaah. Pada pertengahan bulan Feburari tahun 1949 percetakan itupun telah berhasil kembali mencetak ORITA yang diperlukan oleh pemerintah dan pasukan gerilya TNI di pedalaman.