Gagasan Pembentukan Protap Bukan Sesuatu Yang Terlarang
Pandan, Batak Pos
Ditundanya pembahasan pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap) akibat aksi anarkisme yang terjadi di gedung DPRD Sumut beberapa waktu lalu, mendapat tanggapan serius dari Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Tapanuli (LKBH). Menurut Sanggam Tambunan SH selaku ketua LKBH Tapanuli menegaskan, bahwa gagasan pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap) bukanlah sesuatu yang terlarang.
“Terwujudnya Propinsi Tapanuli murni aspirasi dari masyarakat Tapanuli, dan itu adalah hak masyarakat. Karena itu adalah aspirasi dari masyarakat, maka masyarakat yang menggagasi terbentuknya Protap harus dilindungi oleh hukum, bukan sebaliknya,”tegas Sanggam kepada Batak Pos saat ditemui di kantornya, Kamis (27/2).
Menurut Sanggam, kenyataan saat ini ada kecenderungan orang yang menggagasi pembentukan Protap ikut diseret-seret dalam peristiwa 3 Februari lalu. Seharunya orang yang melakukan peyimpangan sehingga terjadi aksi anarkis itulah yang harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di negeri ini, bukan orang atau masyarakat yang menggagasi terbentuknya Protap ikut diseret-seret, karena gagasan pembentukan Protap bukan sesuatu yang salah, atau terlarang.
“Disinilah saya melihat sepertinya ada tekanan-tekanan politik dalam menyelesaikan aksi anarkisme yang terjadi di gedung DPRD Sumut Februari lalu. Kita setuju oknum-oknum yang melakukan aksi kekerasan itu harus ditindak tegas, karena apa pun alasannya tindakan itu tidak dapat dibenarkan, namun orang yang menggagasi pembentukan Protap justru harus dilindungi hukum, karena hak memisahkan diri dari satu Negara dilindungi hukum Internasional, apalagi ini hanya memsisahkan diri dari Propinsi. Jadi harus ada perlindungan hukum kepada mereka yang menggagasi pembentukan Propinsi Tapanuli,”tegasnya.
Untuk itu lanjut pria berkulit putih ini, aparat hukum harus bertindak secara provorsional dan profesional serta dapat membedakan mana tindakan yang terlarang dan mana tindakan yang harus dihormati secara hukum. “Saya hanya meminta dalam menyelesaikan persoalan ini jangan ada politisasi hukum, karena akan menimbulkan masalah yang lain,”harapnya.
Katakan Ya, kalau Ya, Katakan Tidak, Kalau Tidak!
Menurut Sanggam, terjadinya aksi anarkis di gedung DPRD Sumut bulan Feburai lalu karena ada yang tersumbat dan tarik menarik kepentingan dan wilayah. Seharunya DPRD harus mengambil sikap yang tegas tehadap aspirasi ini. “Seperti yang kita ketahui DPRD Sumut tidak memberikan jawaban tegas dalam menyikapi aspirasi pembentukan Protap ini, sehingga ada kekecewaan dikalangan masyarakat yang menginginkan pemekaran segera terwujud. Seharusnya DPRD harus berani memberikan jawaban ya kalau ya, tidak kalau tidak,”sebutnya.
Jangan Ada Anak Tiri dan Anak Kandung
Lebih lanjut Sanggam menilai, dialam reformasi saat ini seharusnya tidak ada lagi istilah anak tiri dan anak kandung. Namun, pada kenyataanya hal itu masih terjadi. “Sebagai contoh, ada beberapa wilayah yang meminta dimekarkan, dalam tempo yang tidak lama sudah terealisasi, sementara gagasan pembentukan Protap sudah lama disuarakan namun sampai saat ini belum terwujud justru ditunda. Seharunya pembahasan Protap harus terus dilaksanakan dan proses hukum terus lanjut. Disinilah kita melihat masih ada istilah anak tiri dan anak kandung itu,”kata Sanggam seraya mengajak agar para elit politik membaca buku karangan Lance Castles yang judulnya Politik Suatu Kesadaran di Sumatera: Tapanuli. (Jason Gultom)
Pandan, Batak Pos
Ditundanya pembahasan pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap) akibat aksi anarkisme yang terjadi di gedung DPRD Sumut beberapa waktu lalu, mendapat tanggapan serius dari Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Tapanuli (LKBH). Menurut Sanggam Tambunan SH selaku ketua LKBH Tapanuli menegaskan, bahwa gagasan pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap) bukanlah sesuatu yang terlarang.
“Terwujudnya Propinsi Tapanuli murni aspirasi dari masyarakat Tapanuli, dan itu adalah hak masyarakat. Karena itu adalah aspirasi dari masyarakat, maka masyarakat yang menggagasi terbentuknya Protap harus dilindungi oleh hukum, bukan sebaliknya,”tegas Sanggam kepada Batak Pos saat ditemui di kantornya, Kamis (27/2).
Menurut Sanggam, kenyataan saat ini ada kecenderungan orang yang menggagasi pembentukan Protap ikut diseret-seret dalam peristiwa 3 Februari lalu. Seharunya orang yang melakukan peyimpangan sehingga terjadi aksi anarkis itulah yang harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di negeri ini, bukan orang atau masyarakat yang menggagasi terbentuknya Protap ikut diseret-seret, karena gagasan pembentukan Protap bukan sesuatu yang salah, atau terlarang.
“Disinilah saya melihat sepertinya ada tekanan-tekanan politik dalam menyelesaikan aksi anarkisme yang terjadi di gedung DPRD Sumut Februari lalu. Kita setuju oknum-oknum yang melakukan aksi kekerasan itu harus ditindak tegas, karena apa pun alasannya tindakan itu tidak dapat dibenarkan, namun orang yang menggagasi pembentukan Protap justru harus dilindungi hukum, karena hak memisahkan diri dari satu Negara dilindungi hukum Internasional, apalagi ini hanya memsisahkan diri dari Propinsi. Jadi harus ada perlindungan hukum kepada mereka yang menggagasi pembentukan Propinsi Tapanuli,”tegasnya.
Untuk itu lanjut pria berkulit putih ini, aparat hukum harus bertindak secara provorsional dan profesional serta dapat membedakan mana tindakan yang terlarang dan mana tindakan yang harus dihormati secara hukum. “Saya hanya meminta dalam menyelesaikan persoalan ini jangan ada politisasi hukum, karena akan menimbulkan masalah yang lain,”harapnya.
Katakan Ya, kalau Ya, Katakan Tidak, Kalau Tidak!
Menurut Sanggam, terjadinya aksi anarkis di gedung DPRD Sumut bulan Feburai lalu karena ada yang tersumbat dan tarik menarik kepentingan dan wilayah. Seharunya DPRD harus mengambil sikap yang tegas tehadap aspirasi ini. “Seperti yang kita ketahui DPRD Sumut tidak memberikan jawaban tegas dalam menyikapi aspirasi pembentukan Protap ini, sehingga ada kekecewaan dikalangan masyarakat yang menginginkan pemekaran segera terwujud. Seharusnya DPRD harus berani memberikan jawaban ya kalau ya, tidak kalau tidak,”sebutnya.
Jangan Ada Anak Tiri dan Anak Kandung
Lebih lanjut Sanggam menilai, dialam reformasi saat ini seharusnya tidak ada lagi istilah anak tiri dan anak kandung. Namun, pada kenyataanya hal itu masih terjadi. “Sebagai contoh, ada beberapa wilayah yang meminta dimekarkan, dalam tempo yang tidak lama sudah terealisasi, sementara gagasan pembentukan Protap sudah lama disuarakan namun sampai saat ini belum terwujud justru ditunda. Seharunya pembahasan Protap harus terus dilaksanakan dan proses hukum terus lanjut. Disinilah kita melihat masih ada istilah anak tiri dan anak kandung itu,”kata Sanggam seraya mengajak agar para elit politik membaca buku karangan Lance Castles yang judulnya Politik Suatu Kesadaran di Sumatera: Tapanuli. (Jason Gultom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar